Sunday, August 9, 2009

Mengunci Fajar

duduk di singgasana
menatap bintang yg sedang berkaca
mencari lekuk peta cakrawala
diantara sudut2 terangnya
indah.. menari-nari

duduk di singgasana
ditemani wangi dupa yg tersulut redup
gemertak dagu menahan dinginnya malam
aku tetap berseru dlm hati

akan tetap kunikmati sinarnya
di sisa-sisa malam itu
akan kunikmati lentera semu
yg sesaat menyeruakkan kebusukkan
hingga dupa tak lagi mampu menahan aromanya

sejurus ia datang bertepuk dada
bak juru pembebas yg haus nirwana
bak juru pembebas
yg lepas dr cengkeram kuku2 elang

ia datang bertepuk dada
berserapah tentang keingkaran
berserapah tentang seribu dusta
pada mulut sang penasehat
mendustai hati yg pernah lapar

ia datang bersilang kaki
membawa selendang keangkuhan
bersama wanita setianya
yg menyaru sbg juru penasehat di pagi buta
yg menyimpan sejuta cinta rahasia
diantara keduanya

juru penasehat bermuka dua
yg memporakporandakan serpihan kesetiaan
yg mencabik2 mulut perawan suci
yg menghunus pedang
tepat di bola matanya
seraya berucap tanpa sengaja

perang telah dimulai
singgasana itu masih berdiri

aku beranjak tak hendak mengalah
namun mencari ruang di tepi telaga
yg bisa menghanyutkan simpul kebodahan
sang pangeran dan penasehatnya

aku beranjak tak hendak mengalah
namun kembali dg obor yg lebih terang menyala
menyirami bara hati
membungkam seribu kata

menanti sang pangeran dan penasehatnya pergi berlalu
di tempat dimana aku pernah duduk bersila
di tempat dimana singgasanaku pernah direbut

wahai malam, tak hendak aku singkirkan mereka
aku hanya akan menunggu mereka pergi
aku hanya akan merebut kembali singgasana biruku
perlahan namun pasti..
agar aku dapat kembali
menikmati hening dan mengunci fajar
memanggil sejuta bintang
yg masih sudi berkaca ke bumi
tak ada lagi dupa
karena dupa hanya akan menjadi pembeda yg jelas
diantara aroma kebusukkan yg menyeruak

aku masih di singgasanaku
namun akan pergi jauh darimu
dan dari penasehat bermuka dua
pergi dari keingkaran dan seribu dusta
di janji kesetiaan yg selamanya semu
dari mulut pangeran kesiangan
yg merayap lirih dan memicingkan mata
membutakan kedua mata ini

aku masih di singgasanaku
diam merajut simpul kejujuran
yg pernah terlewatkan
meneguk segelas air kesetiaan
penghilang dahaga

No comments: