Saturday, March 22, 2014

Dermaga Baru

Tak ada yg akan berubah
Ketika hati sdh bulat berkata tidak
Sekarang dan selamanya
Kapal telah berganti haluan
Menuju dermaga
yang tak lagi sama
Dermaga lain
yang menanti kapal sandar
selama ini

"If we always see the sky when we walk,
we will never see the beauty of the flower on the grass"

Tuesday, March 18, 2014

Cirebon-Jerman

Percakapan dua orang pria paruh baya berikut membuat saya sungguh trenyuh. Bapak A punya 2 anak, yang satu telah bekerja dan menikah dg orang bule tinggal di Jerman dan satunya tinggal di lain kota. Bapak B punya 2 anak masih SD dan SMA.

A : Jangan bangga punya anak yg tinggal di luar negeri bergaji besar.
B : Kenapa pak? Anak dapat pekerjaan mapan kan harapan orangtua.
A : Kelihatannya begitu. Tapi jangan lupa, orangtua usianya semakin menua dan ia semakin kesepian. Di manapun orangtua berada, mereka ingin ketika sakit dan tutup usia didampingi anak2nya. Itu saja sudah bikin seneng.
B : Iya pak, tapi orangtua kan tidak bisa menentukan di mana dan sejauh mana rejeki anak2nya harus dikejar.
A : Contohnya saya pak, kemarin sakit sebulan di rumah sakit. Anak saya di Jerman hanya bisa nengok 4 hari. Dia libur seminggu buat perjalanan PP Jerman-Cirebon. Namanya kerja ikut orang di sana tidak bisa cuti lama. Memang gajinya lumayan, tapi saya malah sedih. Semakin jauh saya sama anak saya dan saya tdk bisa berbuat apa2.
B : Agak susah memang pak, di satu sisi orangtua jarang yg bisa ngasi pekerjaan layak buat anaknya kalau dia harus tinggal berdekatan. Kalau mau cari rejeki yang bagus tapi jauh, memang dilema.
A : Saya sudah sering sakit2an. Tapi hanya kemarin pas sakit parah baru ngabari. Kalo saya kangen bisanya juga cuma telpon. Ya memang ada kiriman uang setiap bulan, tapi ternyata rasanya beda kalo anak itu tinggalnya gampang dijangkau. Anak saya satunya, tinggal di Jakarta. Lumayan dekat daripada Jerman. Itu pun kalo ngabari sakit ngga bisa sewaktu-waktu. Saya sama istri kemana-mana. Untung ada tetangga dan teman buat ngusir sepi.

Cirebon, 27 Februari 2014

Kelas Reguler

Money can buy many things. Termasuk nilai. Jangankan di PTS, PTN pun iya. But they're smooth sailing. Begini ceritanya... "Nilai UAS kalian itu sudah saya tambah 10 semuanya," kata seorang profesor di tempat saya kuliah. Omaigat, itu pun nilai masih 59, ada lagi yang lebih parah 35. Lalu nilai sebenarnya berapa? Agak aneh model UAS-nya, pas ngerjain soal di kelas setelah 40 menit berlalu tiba-tiba petugas mengatakan bahwa UAS boleh take home. Loh? Boleh dikumpulkan seadanya, lalu selebihnya disempurnakan di rumah lalu jawaban diketik rapi dan dikumpulkan maxi minggu depannya lagi. Tapi ternyata ujung2nya yg dinilai adalah jawaban seadanya tsb. Mengapa? Sebab ancur semua tu nilai sekelas. Kok bisa ancur berjamaah? Ya, untung saja ada tambahan nilai UTS dan tugas jadi bisa mengatrol.

Pada jurusan yang sama, nilai di kelas reguler dg kelas beasiswa kominfo selalu lebih baik yg kelas reguler. Apa mahasiswa kls reguler lebih pintar dibandingkan mhs kelas kominfo? Saya ragu, sebab uanglah yg berbicara. Kami sebagai mahasiswa kelas reguler (yang membayar dg jalur uang pribadi alias nonbeasiswa) cenderung diperlakukan "istimewa". Terbukti nilai per mata kuliah juga lebih tinggi, hasilnya IPK kami pun lebih tinggi dibandingkan kelas sebelah di jurusan dan angkatan yang sama. Jangan2 memang karena kami brsedia bayar lebih? Ah, bapak.. Kata2 Anda menjadikan prestasi kami cacat akademik. Mengapa harus ada kata2 "sudah saya tambah 10" dan kalimat ini tdk dilobtarkan di kelas kominfo.