Tuesday, February 11, 2014

Sertifikasi Profesi

"Buat apa ada uji sertifikasi wartawan jika toh sertifikat itu tak bernilai secara materi? Kalo guru bolehlah ngotot memperjuangkan sertifikasi karena dampaknya signifikan terhadap kesejahteraan. Kalo wartawan dipaksa ikut uji sertifikasi atau uji kompetensi, urgensinya apa?" keluh seorang teman wartawan yang baru saja menjalani uji kompetensi wartawan Jawa Tengah dalam obrolan kami, Senin (10/2/2014).

Saya dulu belum sempat menjalani uji sertifikasi karena ide tentang pelaksanaan uji sertifikasi ini baru muncul 1-2 tahun belakangan dan saya keburu resign. Setiap media hanya bisa mengirimkan 3 org setiap gelombang ujian yang saat itu digelar oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Jadi ya, pastilah yang senior duluan yang bisa ikut. Ujian ini dijadwalkan berlangsung setiap tahun. Tdk ada penunjukkan langsung. Sifatnya volunteer.

Entah siapa penyandang dana di balik penyelenggaraan uji sertifikasi ini. Tapi saya percaya, ini adalah sebuah proyek yang nilainya tidak kecil. Sebab skalanya nasional. Tujuan awal sertifikasi ini mgkn positif, ini mengingat wartawan adalah sebuah profesi dan untuk meningkatkan daya saing maka uji kompetensi ini diharapkan menjadi salah satu mekanismenya.

Lalu, apakah wartawan yang belum menjalani uji kompetensi maka kemampuannya di lapangan akan diragukan? Sistem uji kompetensi ini baru muncul, maka ia justru belum bisa diakui sebagai instrumen yang bisa menguji kemampuan wartawan di lapangan secara valid.

Saya sempat berincang dg teman2 yg telah melakukan uji kompetensi ini. Soal ujiannya cukup banyak, termasuk pertanyaan mengenai kode etik dan bagaimana melobi narasumber2 top di hadapan para asesor. Semakin banyak narasumber top yang bisa dihubungi dg tingkat kedekatan komunikasi yang semakin lancar di hadapan para asesor, maka nilai ujian semakin bagus.

Ada benarnya keluhan teman saya itu. Di tingkat wartawan, sertifikat itu hanya akan menjadi piagam pajangan. Beda dengan uji sertifikasi guru atau tenaga asuransi atau bankir. Sertifikasi profesi tersebut benar2 bisa bernilai uang. Entah mengapa profesi wartawan sedikit unik. Setinggi dan sebanyak apapun gelar, tidak bisa menjadi uang. Sebanyak apapun sertifikat, juga tidak akan mendatangkan uang. Sebanyak apapun narasumber top bisa kepegang tangan, malah menjadi ancaman mutasi. Sebanyak apapun tulisan menjuarai kompetisi, dibilang wajar, siapapun bisa, maka perusahaan tak perlu memberi reward. Gemar ikut teriak naikkan UMK buruh, tapi UMK diri mereka sendiri malah jalan di tempat dan tak berani bersuara. Di kelas media cetak, posisi wartawan justru paling diincar ketimbang posisi redaktur. Idealnya, statusnya naik kelas. Tapi ironisnya, pangkat jendral gaji kopral. Sebaliknya di posisi wartawan, pangkat kopral gaji jendral. Lucu memang. Tapi ini fakta.

Saya dulu tak berambisi ikut uji sertifikasi duluan, karena saya menduga bahwa sertifikat itu tidak akan berdampak apa2 terhadap tunjangan. Lha, orang kerja apa yang dicari kalo bukan uang? Cuma dapat pengalaman dan malah mengorbankan waktu kerja yang seharusnya bisa dipakai cari uang. Saya memilih bersikap rasional. Biar saja itu bagian dari proyek PWI, seperti halnya AJI (Aliansi Jurnalis Independen) ketika menggelar survey besar2an tentang kesejahteraan wartawan. Nilai proyek ini saya yakin juga tidak kecil, karena skalanya nasional. Pertanyaan dalam lembaran setebal itu buat apa? Ditanya berjam-jam, hasilnya juga tidak signifikan. Tidak sebanding dg waktu yang disita. Kalau saja survey AJI itu bisa mendorong perubahan kesejahteraan wartawan, ya saya mau jadi respondennya. Tapi saat itu saya tolak ketika tahu bahwa survey itu terlalu banyak tanya tapi tidak memberikan umpan balik apa-apa kecuali pemberitaan. That's it.

Jadi, saya tidak merasa rugi apapun tidak pernah mengikuti uji kompetensi wartawan. Kompetensi tidak bisa dinilai dari selembar sertifikat. Kemampuan seorang wartawan dalam menggali isu, memantau dan mengembangkan isu, memilih dan melobi narasumber yang kompeten, menuangkannya dalam tulisan yang terstruktur dan logis, ditentukan dari bagaimana ia berproses selama di lapangan. Publiklah yang akan menilai kemampuannya.

Monday, February 10, 2014

You

I like you
Doesn't mean I want to marry you
for now..
You conquered my heart
Doesn't mean I will surrender my life for you
It's just a feeling
I try to understand
It's just a feeling
That I take to make me happy
It came and then go
as soon as they sometimes will

Kamu dan ia

Jika kelak
Kamu dan ia
Hanya terselip di selintas waktu
bukan di akhir perjalanan
Ijinkan qt nikmati detik2 ini
Detik qt tertawa
menyunggi romansa
dalam sipu dan hening
Ijinkan waktu berhenti
hanya di saat2 itu
Ijinkan waktu
memberikan yg terbaik
Aku, kamu dan ia

Sunday, February 2, 2014

Pagiku

Selamat malam, pagiku
Mentari hariku

Kamu adalah pagi
yang tak pernah gelap

Kamu adalah semangat
yang tak pernah surut

Kamu yang selalu renyah
Menggiring tawa
Bersama detik2 waktu

Kamu yang santun
Mengetuk pesan sederhana

Seperti sudah ribuan pesan
Kau kirim dalam bisik2 kecil
Ah, aku lupa
Rupanya kita baru kemarin sore

Selamat tidur

Saturday, February 1, 2014

Polisi dan Mahasiswa Asing

Polisi Indo emang gila korupnya. Seorang teman dari Madagaskar yg nyasar salah jalan pun kena palak juga. Gara2 pajak STNK nya mati sejak dua tahun lalu, kena deh dia.

"Priiittt! Suddenly he stopped me and asked me to show the KTP motor and driving license," Gio said to us.

Temanku ini emang kocak banget, nyebut STNK selalu aja KTP motor. Bisa siy bahasa Indo tapi masih setengah2 meski dia sudah setahun belajar di Sby.

"Jalanan macet dan saya drive my motorcycle to flyover. I just knew that the flyover only for car," he said.

Yg dia maksud adalah jembatan Mayangkara. Dia berasal dari arah terminal Bungurasih hendak pulang menuju kos di daerah Gubeng Kertajaya. Motor yg ia pakai sebetulnya ia beli second Rp 7 juta dari temannya teman staf pengajar bahasa di Lab Bahasa Unair. Agak rumit, ngga heran Gio lalu hrs menanggung pajaknya yg tdk dibayarkan selama dua tahun. Pemilik yang sesuai dg alamat STNK ternyata sudah meninggal dan Gio bingung harus pakai KTP siapa ketika bayar pajak dan balik nama BPKB. Di situlah polisi memanfaatkan celah.

"Actually I have my driving license from Madagascar but for car, not motorcycle. And I don't think I can use it in Indo because the position of steering wheel on right-hand side, Madagascar on left-hand side," he added.

"The police asked me fifty thousands rupiahs, but I said I don't have money pak. I'm a college student, and here is my identity. Then I show him my wallet there are only fifty thousands left. So he asked me thirty five thousands," he said.

"Seriously? Dia mau kau kasi cuma 35.000 aja?" we asked.

"Ya, he counted my cash on my wallet. After that, he asked me why I didn't have driving license? He offered me to get driving license and gave me his phone number. He said that I can get it instantly only eight hundred thousands rupiahs, just call his number. " Gio said.

"Gosh! And you say yes?"

"No. I only nodded and then discard his number. No way, I don't have that much money from my scholarship. I don't even have my KTP motor yet," he said.

Poor you are.. Polisi Indo emang resek betul. Tau ada orang asing langsung jd sasaran empuk buat dipalak.

"You know the real cost to get driving licence for motorcycle in Indo? Only Rp 100.000, but you have to make it on three days. If we (local people) want to get instantly from calo only Rp 400.000," I said.

"Wow, twice for me? Great pak police!" Gio added.