Wednesday, August 26, 2015

Proyek Kasur DPR dan 7 Mega Proyek Lainnya

Selalu ada saja cara menggarong duit negara. Setelah pengajuan 7 megaproyek senilai Rp 1,6 triliun terancam ditolak Jokowi, sekarang giliran anggaran spring bed alias kasur yang diajukan (Rp 12,5 miliar). Per anggota dapat jatah Rp 19 juta. Sebetulnya bukan masalah Rp 19 jutanya, tapi kinerjanya tunjukin dulu. Ini mah yang terekspos, yang kagak malah jauh lebih gd nilainya.

Betul kan kata Fadli Zon klo proyek itu nilainya kecil, bukan megaproyek. Sebab, mereka mainnya duit gd selama ini. Sebetulnya, klo qt liat usulan 7 proyek itu uda lama. Banyak keluhan muncul dari anggota DPR dan para tenaga ahlinya. Orang awam melihat kondisi gedung DPR RI di Senayan masih sangat mewah, arsitekturnya oke, tamannya terawat, kemanan terjamin.

Cobalah tengok masuk, ruang seorang Kepala DPR, Ketua Komisi, dan anggota DPR jauh lebih memprihatinkan dibandingkan ruangan seorang manajer cabang bank swasta ternama. Pun lobby gedungnya, terkesan seadanya. Apalagi musholla di tiap gedung benar2 seadanya. Hampir semua benda adalah peninggalan para terdahulunya secara turun-temurun.

Coba tengok juga perangkat komputer yang digunakan para sekpri dan tenaga ahli mereka di ruangan. Jujur, waktu saya jadi staf ahli tante sblm akhirnya ditempatkan jd TA Dapil, kondisi gedung DPR RI Senayan dalemnya sedih banget. Klo kerja malah enak pakai laptop pribadi ketimbang PC itu. Komputer Intel jadul, entah Pentium berapa, keyboard keras berbunyi cetak-cetok, layar monitor model tabung, cembung berukuran 10", dan server diletakkan di bawah desktop. Ini membuat saya teringat ke jaman SD. Kali pertama punya komputer di rumah.

Perusahaan swasta pun sudah meninggalkan model yang beginian ini. Yah, minimal layar monitornya pakai yang flat, agak gedean dikit 14" dengan internet berkecepatan tinggi. Di beberapa bagian, malah uda pake PC MAC. Ruangannya (tentu saja) lebih nyaman meskipun hanya staf. Itu kelas perusahaan swasta nasional dan bukan manajer.

Sementara tengoklah PC milik anggota DPR. Merk Dell, warna putih, layar monitor kira-kira 18". Di hadapannya ada TV 32" yang setiap saat menayangkan siaran TV Parlemen yang dinikmati melalui jaringan TV Plasma.  

Perangkat meja kursinya berdebu (maaf tidak ada OB khusus). Mejanya dipenuhi tumpukan berkas yang entah harus diletakkan di mana lagi sebab space ruangan tidak cukup. Di depan ruang anggota dewan, ada ruang kecil berisi 1 unit komputer, lemari, dan meja kursi yang hanya cukup utk 1 org sekpri. Sementara, seorang anggota dewan memiliki 2 orang sekpri dan 1 TA. Semuanya berjejal.

Tak heran, usulan renovasi ruang itu kemudian muncul dalam 7 megaproyek tsb. Namun, sekali lagi ketika tuntutan tidak diimbangi dengan capaian kinerja yang memuaskan maka tak berlebihan jika wacana ini menuai banyak protes.

Direnovasi segede apapun, anggota dewan itu jarang nyamperin kantornya di Senayan. Paling2 klo ada hearing atau rapat mini fraksi atau sidang paripurna, setor muka dan tandatangan buat ambil duit.

Apalagi ngajuin kasur, jadi geli sendiri. Emangnya situ ngga mampu beli kasur Rp 19 juta? Okelah jika itu fasilitas, tapi please deh punya empati dikit. Nyadar ngga siy klo kondisi perekonomian kita lagi decline?

A note to my president : please reconsider the 7 mega projects proposed of parliament.



Thursday, August 20, 2015

Iklan di Media Massa

Jadi, media massa harus membanding2kan jejak kompetitor sebuah produk/usaha untuk mendapatkan pemasukkan iklan yang lebih gd? #TrikDoank

"Eh, perusahaan A kemarin berani pasang adv Rp 30 juta sekali tayang utk ukuran 400x600 mmk. Masa perusahaanmu ngga mau?"

"Event gowes kemarin, perusahaan A support Rp 40 juta loh, belum termasuk kaos dan goody bag peserta. Support donk minimal samaan gitu"

(perusahaan A dan B bergerak di bidang yg sama, namun A adalah market leader di pasar domestik, sementara B di urutan ke-2)

Yakeles, dibanding2in. Secara, market share aja uda beda. Revenue beda. Visi beda. Jelas orientasi pemilihan media massanya juga beda. Lagian, oplah koran lu tu berapa? Distribusinya nyampe ke mana aja?

Mmm... Duit segitu sayang klo dipake iklan di satu media untuk satu acara doank, dg level media seperti punya lu. Kita bisa masukin iklan segitu ke media yang lebih gd dari oplah media lu. Lagipula, qt dpt gratisan ke media onlinenya sekalian.

Plus qt bisa anggarin buat media online yg market sharenya #1. Bukan iklan siy yg ini, tapi macem fee doank bwt redakturnya. Yg penting berita positifnya naik. Low cost high impact.

Sunday, August 9, 2015

Is my president being insecure?

Hal yang paling menggelitik isi kepala, adalah ketika mengikuti pemberitaan tentang penghidupan kembali pasal penghinaan presiden dalam revisi RUU KUHP. Don't tell me that my president is being insecure. Bukankah konsekuensi menjadi seorang pemimpin adalah mendapatkan jutaan pembenci? Sebab tak ada seorang pun pemimpin di dunia ini yang mampu memenuhi keinginan seluruh rakyatnya. Itu sebabnya, selalu ada celah untuk dibenci lantaran selalu ada kepentingan berbicara di balik setiap keputusan.

Upaya JKW tersebut membuat saya khawatir, jangan2 JKW yang selama ini mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang sabar, legowo dan tebar senyum sejatinya ia adalah orang yang represifnya melebihi regime Soeharto. Semoga tidak begitu. Kita memang tidak hidup di US di mana orang bebas mengata-ngatai pemimpin negaranya, namun jangan lupa jika kita hidup di negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Orang tetap punya hak untuk mengkritisi kebijakan pejabat negara. Mengkritisi, bukan menghina. Agaknya juga perlu diluruskan perbedaan definisi mengkritisi dan menghina dalam pasal tersebut. Entah dari mana datangnya ide penghidupan pasal tersebut, saya berharap langkah JKW tidak menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.

Saya juga berharap, bukan socmed yang melatarbelakangi ide tersebut. Sebab masih banyak hal yg lebih penting yg harus dilakukan ketimbang ngurusi penghinaan di media sosial. Urusan media sosial, cukup diselesaikan di media sosial, tak perlu dimaktubkan dalam undang-undang yang menguras duit negara. Ibarat penghinaan sejarah lewat buku, tak perlu membakar bukunya, tandingi dengan tulisan dalam bentuk buku pula. Masyarakat bisa lebih cerdas, punya banyak pilihan tanpa harus mencederai ilmu.