Friday, June 26, 2015

Teknologi

Suka ngiri ama teman-teman yang tinggal di kota2 yang uda bisa dijangkau layanan 4G (LTE) Bolt. Layanan data berkecepatan super. Hari gini siapa yang ngga mupeng ama internet berkecepatan super dg harga "terjangkau." Pernah incip2 layanan Bolt, nebeng punya teman di kantor. Mau beli sayang juga, di kos uda ada wifi yang kenceng. Cuma Rp 180.000 per bulan bisa streaming ampe mampus tiap hari, kecuali ada hujan pasti bakal gangguan 1-2 hari. Ini bikin bete.

Saya penduduk nomaden Jabodetabek. Rumah di Surabaya. Layanan ini belum ada di kota kelahiran saya. Sayang banget. Provider gd seperti TSel, XL, Smartfren emang uda ada layanan 4G tapi tarifnya mahal.

Era masyarakat informasi emang unik, selalu rakus data. TV uda ngga menarik. Jujur, saya tipe orang yang jarang nonton TV. Sebulan mungkin cuma 3-4 kali nyalain TV. Menikmati layanan data jauh lebih seru. Selamat datang di era konvergensi media. Ketika semua paket informasi bisa diakses hanya dengan satu media/gadget.

Mobilitas yang tinggi membuat layanan data menjadi primadona. Bukan, bukan dipake untuk sekadar socmed. Rugilah klo langganan data mahal2 cuma buat login Path, Instagram, Twitter ato Instant Messanger lainnya. Facebook bahkan uda ngga jaman. Streaming Youtube ato file2 video online jauh lebih seru melebihi nonton film di TV kabel atau berita di TV yang datar2 aja.

Menanti weekend yang cuma duduk seharian di kamar ngabisin kuota, rasanya seperti mau dilamar pacar. Persiapannya jauh lebih heboh buat weekend. Senengnya akut.

Dosenku pernah bilang, teknologi itu seperti sampah. Life cycle nya pendek dan soon or later inovasi yang dielu-elukan di suatu masa tiba2 menjadi barang rongsokan yang mengenaskan. Seperti baru kemarin aja beli, lalu tertidur dan pas bangun eh barang itu uda ketinggalan jaman.

Fungsinya menjadi sangat terbatas karena ditemukannya teknologi lain yg mampu memberikan fungsi yg lebih banyak. Karena diproduksi massal, maka harganya pun jauh lebih murah. Teknologi "mahal" yang ada di genggaman kemarin, yang dielu-elukan, tiba2 menjelma jadi penyesalan. That's the way technology goes.

Thursday, June 25, 2015

Life


Sebenarnya, apa yang kamu cari? Apakah dengan menjegal kaki orang lain maka kamu akan lebih dulu sampai di garis finish? Apakah dengan menebar gosip murahan kamu akan terlihat lebih baik sebagai pembanding antara hitam putih yang kamu ciptakan? Apakah dengan melontarkan kalimat2 satir setiap kali obrolan, maka kamu akan terlihat lebih cerdas? Cerdas mencari celah orang lain. Mirip kata pepatah, gajah di pelupuk mata tak nampak, kuman di seberang lautan tampak.

Saya jadi ingat kalimat seorang kawan. Ketika kamu tak bisa membuat orang lain tertawa, minimal jangan membuatnya menangis. Ketika kamu tak bisa menghibur, minimal jangan menyakiti. Ketika kamu tak bisa memberi, minimal jangan mencela.

Dalam kamus saya, perilaku orang2 semacam itu lebih mirip dg orang sakit jiwa terselubung. Gangguan kepribadian, sebuah kondisi yang tak lazim yang lama2 mendorong orang lain utk membentuk kepribadian serupa. Sebuah perilaku berulang yang menjadi kebiasaan. Itulah kepribadian. Kepribadian sakit jiwa yang menjadi jamak.

Ketika materi candaan tiap hari mengarah pada fisik, harta, dan intelektual seseorang. Ketika celaan sudah menjadi kebiasaan alias hobi. Then, welcome to the jungle.

Lagi2 ingat nasehat teman, hidup ini menjadi begitu banyak masalah kalau kita memasukkan semua permasalahan itu ke dalam kepala dan hati. Yang ada, kita bakal ikutan gila. Sebab tak setiap masalah perlu dipikir. Butuh kebiasaan saja utk bisa membedakan mana masalah sepele dan mana masalah berat.

Kapasitas otak manusia terbatas. Ada hal2 yang tak perlu masuk ke dalam otak, apalagi turun ke hati. Ketika semua hal dijejalkan masuk, maka isi kepala akan tumpah. Sering kita tak sadar bagian mana yang tumpah akibat salah menyusun prioritas.

Manusia punya dua telinga dan satu mulut. Idealnya, mereka lebih banyak mendengar ketimbang bacotnya. Tapi banyak juga yang ngga nyadar.

Semoga hal2 semacam ini mampu menjadi ladang amal untuk membangun kesabaran dan senantiasa memohon ampun pada-Nya.

Friday, June 5, 2015

Dailan Isekak

Saya bukan simpatisan DI, tapi ketika melihatnya dihujat rame2 lewat tulisan "Dahlan Iskan Kesetrum Gardu Listrik" hati saya miris. Era pendzaliman sdg dimulai? Orang2 yg tak paham benar kasusnya mendadak sotoy dan girang.

Apa benar proyek senilai lebih dari Rp 1 triliun itu memperkaya dirinya? Musuh seringkali sukses mencari celah lawan meskipun kasus yg sebenarnya tdk segamblang definisi korupsi itu sendiri.

Pembaca yg cerdas tdk seenaknya latah menghujat. DI mungkin bukan orang bersih, tapi mungkin juga tidak senggarong yang dibayangkan org lewat berita2 di media massa yg kdg ditulis oleh wartawan kemarin sore yg cuma paham sepenggal kasusnya.

Agak susah ketika informasi telah menjadi bagian dari komoditas. Demi rating. Demi iklan. Akibatnya, banyak media yg mendadak ikut2an menyorot hanya karena tak ingin ditinggal permirsa/pembacanya (kecuali Jawa Pos Grup sudah pasti akan mengabaikan isu ini).

DI memang sudah lama menjadi TO untuk dijebloskan dalam jeruji besi, sebab posisinya sangat strategis menangani proyek2 "raksasa" di mana ada banyak orang yang berpotensi tidak kebagian pelicin. Orang2 tersebut (mungkin) berpotensi menjelma sbg malaikat suci yg merasa berhak memutuskan siapa yg salah dan siapa yg benar. Tinggal tunggu waktu.

Saya tak hendak membela DI, tak ada untungnya juga bagi saya. Namun saya lebih miris menghadapi kenyataan bahwa negeri ini sampai kapanpun tak akan siap dipimpin oleh sebaik2 apapun sosok pemimpinnya. Selalu mencari celah, gampang menghujat, enggan belajar dari kesalahan, sulit memberi kesempatan pada sosok pemimpin yang sedang ingin berbenah. Lalu, lebih tepatnya carilah pemimpin dari bangsa malaikat.

*Saya, yang selalu berdoa agar pemimpin2 negeri ini amanah*

Hemat

Budaya hemat itu berawal dari gaji. Suatu siang, mungkin setiap hari siang menghadapi teman-teman yang ketika makan siang harus membawa air mineral sendiri. Menyisir depot-depot murah alias food court pinggir jalan yang setiap kali makan tidak lebih dari Rp 20.000. Pemandangan ini terjadi pula di cabang lain, masih di kantor yg sama.

Pernah saya iseng mengkalkulasi dan membandingkan, sebesar besar nilai penghematan jika membeli minum di depot dg membawa air mineral sendiri. Jika asumsinya es teh Rp 3.000 x 22 = Rp 66.000 maka spend money untuk minuman ketika makan siang dlm sebulan tak sampai Rp 100.000. Bukan angka yang fantastis. Namun sedikit aneh ketika mereka mampu menenteng gadget2 update yang bahkan tak bisa mereka makan.

Jujur, budaya seperti ini baru bagi saya. Di perusahaan sebelumnya, makan siangpun bahkan hampir setiap hari di mal. Mau nongkrong di cafe manapun tak jadi soal. Karaoke kapanpun tak pernah mengeluh. Semua tinggal bilang. Tak tau berapa besar gaji sebulan, ATM juga nyaris tak pernah digunakan. Biaya operasional utk hidup sehari2 selama bertahun2 sdh "terjamin." Jangan kaget, itulah bedanya profesi dulu dengan sekarang.

Bagi teman2 yg "terperangkap" dlm zona nyaman, meninggalkan profesi yg lama adalah hal yg sangat bodoh. Namun bagi saya, bekerja itu juga soal nurani. Saya tak ingin menjadi katak dlm tempurung yang hanya memahami hidup melalui teropong kacamata kuda. Saya melompat. Kenyataan yg saya dapati tidak sesuai ekspektasi. Lupakan salary 2 digit. Apakah saya kecewa? Kadang. Namun, sampai detik ini saya percaya jika saya sebetulnya layak digaji 3x lipat dr saat ini dan itu tidak terjadi, maka selebihnya Tuhan akan memberikan yang 2x itu dalam bentuk lain. Biarlah Tuhan yang menilai kerja keras saya.

Saya masuk ke dalam sebuan perusahaan yg menerapkan efisiensi gila2an. Termasuk gerakan mematikan lampu 1 jam ketika jam makan siang (padahal tdk sebanding dg ongkos mengganti peralatan listrik yg cepat rusak ketika sering2 ON-OFF). Efisiensi ini dilihat dari sisi yg mana?

Sebuah perusahaan yang bahkan entah sengaja atau tidak, mempekerjakan lebih banyak lulusan SMA dg harapan boleh menggaji mrk sebatas UMR. Banyak karyawan yang berusia muda sekitar 23-26 tahun tapi sudah punya anak 2-3. Awalnya saya bengong, ke mana masa mudanya? Pada usia tsb (usia di mana saya ribut bekerja dan membiaya kuliah) mereka sudah ribut perkara susu bayi dan menyekolahkan anak. Mereka mengawali karirnya sejak lulus SMA, lalu menikah. Lalu, apakah gelar setinggi apapun punya kecenderungan tdk berlaku karena keengganan membayar gaji yang lebih tinggi? Bisa jadi. Apakah dg bekal S2 lantas gampang menjadi GM dalam tempo 1-2 tahun? Agaknya terlalu bermimpi.

Gaji boleh pas2an, asal jangan terlalu menekan gaya hidup. Hiduplah sewajarnya, itu lebih baik. Kebiasaan lama yang cenderung foya2 boleh ditinggalkan, sebab ritme dan beban pekerjaan dulu dan sekarangpun sudah beda. Banyak hal yg sebetulnya bisa diadaptasi pelan2.

But eniwe, the miracles come to those who believe in them. Tuhan memberikan kejutan2 kecil yang menjawab doa saya tsb. Tanpa harus melompat lagi, ada banyak hal yang menghampiri saya dan itu pula mendatangkan banyak hal. Saya semakin yakin, jika hidup bukanlah soal menemukan di mana ujung jalan, sebab jalan yang kita sangka ujung ternyata hanyalah sebuah tikungan, maka sepeda harus tetap dikayuh. Prosesnya harus benar2 dinikmati. Kadang kita jatuh, lalu ditertawakan, diremehkan, dan dilupakan. Tapi kita tetap punya kesempatan untuk bangkit asal kita mau. Tak perlu cemas dg ketidakjelasan hari esok. Gus Solah bilang, esok itu gaib. Bekerjalah bersungguh2 tanpa semata2 menuntut materi. Yakinlah, sebuah jalan yang luas membentang akan ditemui oleh mereka yang bekerja keras dan memiliki niat untuk memuliakan banyak orang.

Salam.