Sunday, August 31, 2014

IQ dan EQ

Banyak pria beranggapan jika semakin tinggi pendidikan wanita, semakin matang usianya, semakin ia susah diatur sebab ia cenderung keras kepala dan merasa lebih tahu. Artinya, jika kalimat ini dinegasikan maka wanita yg berpendidikan tidak terlalu tinggi dan masih berusia muda maka ia cenderung lebih bisa diatur? Apa memang begitu? Bagaimana dg pria? Subyektivitas saya mengatakan, anggapan itu tak sepenuhnya benar, baik terhadap wanita maupun pria. Sebab ada banyak faktor yg mendasari sifat seseorang.

Faktor keras kepala seseorang sering ada tak ada hubungannya dg faktor pendidikan dan usia. Wanita/pria berpendidikan rendah kebanyakan memang keras kepala (benar atau salah ini subyektivitas saya) tapi wanita/pria dg pendidikan tinggi juga tak sedikit yg berbuat semaunya sendiri. Soal hubungannya faktor usia? Saya punya dua ilustrasi menarik. Yang satu, seorang wanita yg kini berusia 50 tahun dan berpendidikan tinggi (S2) satunya lagi seorang pria berusia 25 tahun juga berpendidikan tinggi (S2). Keduanya sama2 susah diatur.

Di kantor lama saya, ada seorang wanita yg pernah menjadi atasan (bos) saya selama 2 tahun. Yang unik, sebelum kami akhirnya "berjalan" di rel yang sama (baca : bekerja di bidang yg sama) hubungan kami sangat baik. Namun ketika kami "berjalan" di rel yg sama, kerikil2 dlm perjalanan hubungan kami acapkali sering menjadi batu besar sehingga agak berat ketika disapu. Puncaknya, saya dan dia pernah berbulan2 tdk saling bicara. Yang saya lakukan hanya setor kewajiban lalu pulang, dan merancang tugas semau sendiri. Dia pun seringkali tdk memakai hasil garapan saya dan memilih memajang garapannya sendiri. Bagi saya, tdk masalah yang penting saya sudah gugur kewajiban. Bukan salah saya ketika nanti ditanya bos besar, saya bisa berkelit, selama ini saya sudah menyelesaikan tanggungjawab saya namun tidak dipakai. Hubungan kami up and down, dan ketika kami tak lagi "berjalan" di rel yg sama justru hubungan kembali membaik bahkan sampai saat ini.

Pernah suatu ketika, bos besar kami memanggilnya ke ruangan dan berkata padanya bahwa ia ibarat pasukan dalam barisan yg derap langkahnya tak pernah seirama. Memang tetap berada di dalam barisan, namun jalannya melenceng tak beraturan. Kadang tertinggal, kadang lebih cepat, kadang lebih ke kiri atau terlalu ke kanan. Irama itu ia ciptakan sendiri. Tak ada yang bisa mengatur agar derap langkahnya jangan terlalu ke kiri atau ke kanan atau jangan terlalu cepat. Kebenaran diri sendiri adalah harga mati. Mungkin itu prinsipnya. Sedangkan kami sebagai perusahaan besar memerlukan tim yang bekerja secara solid (team work). Tak perlu orang cerdas, tak perlu orang kaya, yang diperlukan adalah orang-orang yang mau diatur dan mau bekerjasama, orang-orang yang memiliki loyalitas tinggi.

Salah seorang pria teman kuliah saya menggambarkan, bahwa menjadi keras kepala tak harus berpendidikan tinggi dan berusia matang. Jiwanya yang keras terbentuk sejak kecil. Sebagai sulung dua bersaudara, ia sosok pekerja keras dan kerap memimpin organisasi. Ia pun tampil sebagai pribadi yang sangat percaya diri. Sering merasa benar dan kepentingannya adalah yg utama, jadi tak jarang ia berbuat semaunya. Jadi, semua org harus memakluminya? Ketika dia dilanda bad mood, tiba2 saja semua org kena imbasnya. Namun ketika org lain yg giliran bad mood lalu diolok2 tdk semestinya bad mood tanpa memberikan solusi atau sudi mendengarkan masalah org lain yg mjd penyebab bad mood. Agak payah memang, sama seperti bos wanita saya itu. Mood-nya up and down dlm waktu yg tak terduga. Emosinya dlm berkomunikasi juga sering tidak stabil. Ini acapkali ikut menyeret org lain mjd tidak stabil juga apabila orang itu tdk segera sadar bahwa sebetulnya auranya sedang diseret menjadi negatif oleh teman saya ini.

IQ dan EQ lebih sering tidak berbanding lurus. Orang yg cerdas secara IQ tak selalu cerdas mengendalikan emosi dalam berkomunikasi. Tulisan saya ini tak hendak menunjukkan jika saya telah berada pada tingkat kematangan IQ dan EQ tertinggi, namun untuk membuka pikiran saya sendiri bahwa listening skill itu perlu dipertajam. Saya perlu menata hati secara terus-menerus. Mendengar orang lain jauh lebih penting sebelum kita benar-benar ingin didengar dan dimengerti. Salam.

No comments: