Tuesday, August 5, 2014

Ayah

Ayah.. Tahukah kau ketika tanganmu gemetar memegang segala sesuatu yang selalu jatuh, dulu aku selalu marah. Ketika ayah berkali-kali menjatuhkan alas gelas sehingga air teh yang berasa manis selalu tercecer lalu aku membersihkan sambil menggerutu. Ketika ayah berkali-kali meneteskan kuah sayur di meja makan sehingga meja jadi belepotan, nasi tercecer kemana-mana, aku membersihkan sambil mengomel. Ketika ayah menuangkan biskuit kucing ke dalam wadah, selalu saja tercecer dan lagi2 aku membersihkannya sambil mengomel lelah. Ketika ayah terpeleset di kamar mandi aku berkata "Ayah kurang hati-hati. Kalo tubuh besar jatuh, aku nggak kuat ngangkat. Emang agak licin, belum sempat membersihkan soalnya aku capek. Jangan jatuh lah."

Ketika ayah tertimpa tangga portable sehingga jidat berdarah sewaktu membenahi kabel, aku berteriak dan menyalahkan "Ayah kenapa selalu bikin ulah sih! Selalu saja tidak mau berhati-hati sendiri." Aku selalu berteriak meski pada akhirnya membantu mengobati. Ketika lutut ayah berdarah tertusuk pensil yang runcing, aku hanya bisa berteriak dan menyalahkan lalu mengambilkan Betadine dan Hansaplast. Tetatp saja aku menggerutu.

Sore itu, ketika kita duduk menikmati secangkir teh dan pisang goreng sambil mengobrol, engkau lalu berkata. "Kalo ada temen ngobrol begini setiap hari rasanya senang. Nggak ada yang uring-uringan, nggak ada yang saling menyalahkan. Ayah sudah tua, nduk. Saraf tangan dan kaki sering tiba-tiba lemah. Apalagi kalo diabetesnya pas kambuh, habis minum obat penurun kadar gula pasti saraf-sarafnya langsung lemah. Pengennya ya tetep aktivitas nggak cuma ngobrol sama ibu. Masih pengen dengar cerita-cerita lucu dari anak-anakku," kata ayah. Mataku langsung berair. Aku hanya tertunduk. Ayah, maafkan aku.. Tiba-tiba aku menangis memeluk ayah.

Aku ingat ketika kecil dulu, aku sering menumpahkan air dan makanan, lalu ayah tertawa sambil mengepel lantai. Ketika aku sering mencoret-coret dinding lalu ayah mengecat ulang. Ketika kaki kiriku masuk ke panci berisi air panas, ayah dan ibu langsung membawaku ke dokter. Ketika aku membuat berantakan mainan yang sudah disusun rapi, ayah menyusunnya ulang. Ketika aku banyak bertanya, ayah selalu menjawab. Ketika aku kesepian ingin bermain, ayah selalu mengajak ke taman bermain dekat rumah setiap sabtu-minggu. Menggendongku di atas pundak dan membelikan es lolipop. Ayah.. Maafkan aku.. Berjuta kali aku menangis mohon ampun pada-Nya, aku tetap tak mengerti apa doa terbaik buatmu. Aku ingin ayah panjang umur dan tetap sehat, selalu sabar dan sayang keluarga.

Apapun perbedaan yang kita miliki saat ini, jangan jadikan itu sbg penghalang kasih sayang yang tulus. Engkau tetap ayahku yang hebat, yang tak tergantikan oleh apapun. Engkau tetap ayah yang aku cintai, yang kutembuskan doa melalui waqaf dua Quran di Masjidil Haram atas namamu dan ibu. Ustadku pernah bilang, doa anak yang berbeda agama dengan orangtuanya tidak akan didengar Allah. Tapi, aku lebih percaya jika doa dan ketulusan tak pernah mengenal agama. Tuhan mencintai perbedaan, dan pada akhirnya aku percaya jika hakim tertinggi yang menentukan apa yang baik, benar, buruk, salah adalah DIA. Ayah, seandainya engkau tahu, sewaktu umroh kemarin aku juga membelikanmu baju gamis Arab agar kelak entah kapan Allah membuka hatimu maka engkau bisa memakainya untuk ke masjid atau berlebaran atau sekadar sholat Jumat. Baju gamis panjang warna abu-abu yang masih kusimpan rapi di lemari hingga saat ini...

No comments: