Friday, June 5, 2015

Hemat

Budaya hemat itu berawal dari gaji. Suatu siang, mungkin setiap hari siang menghadapi teman-teman yang ketika makan siang harus membawa air mineral sendiri. Menyisir depot-depot murah alias food court pinggir jalan yang setiap kali makan tidak lebih dari Rp 20.000. Pemandangan ini terjadi pula di cabang lain, masih di kantor yg sama.

Pernah saya iseng mengkalkulasi dan membandingkan, sebesar besar nilai penghematan jika membeli minum di depot dg membawa air mineral sendiri. Jika asumsinya es teh Rp 3.000 x 22 = Rp 66.000 maka spend money untuk minuman ketika makan siang dlm sebulan tak sampai Rp 100.000. Bukan angka yang fantastis. Namun sedikit aneh ketika mereka mampu menenteng gadget2 update yang bahkan tak bisa mereka makan.

Jujur, budaya seperti ini baru bagi saya. Di perusahaan sebelumnya, makan siangpun bahkan hampir setiap hari di mal. Mau nongkrong di cafe manapun tak jadi soal. Karaoke kapanpun tak pernah mengeluh. Semua tinggal bilang. Tak tau berapa besar gaji sebulan, ATM juga nyaris tak pernah digunakan. Biaya operasional utk hidup sehari2 selama bertahun2 sdh "terjamin." Jangan kaget, itulah bedanya profesi dulu dengan sekarang.

Bagi teman2 yg "terperangkap" dlm zona nyaman, meninggalkan profesi yg lama adalah hal yg sangat bodoh. Namun bagi saya, bekerja itu juga soal nurani. Saya tak ingin menjadi katak dlm tempurung yang hanya memahami hidup melalui teropong kacamata kuda. Saya melompat. Kenyataan yg saya dapati tidak sesuai ekspektasi. Lupakan salary 2 digit. Apakah saya kecewa? Kadang. Namun, sampai detik ini saya percaya jika saya sebetulnya layak digaji 3x lipat dr saat ini dan itu tidak terjadi, maka selebihnya Tuhan akan memberikan yang 2x itu dalam bentuk lain. Biarlah Tuhan yang menilai kerja keras saya.

Saya masuk ke dalam sebuan perusahaan yg menerapkan efisiensi gila2an. Termasuk gerakan mematikan lampu 1 jam ketika jam makan siang (padahal tdk sebanding dg ongkos mengganti peralatan listrik yg cepat rusak ketika sering2 ON-OFF). Efisiensi ini dilihat dari sisi yg mana?

Sebuah perusahaan yang bahkan entah sengaja atau tidak, mempekerjakan lebih banyak lulusan SMA dg harapan boleh menggaji mrk sebatas UMR. Banyak karyawan yang berusia muda sekitar 23-26 tahun tapi sudah punya anak 2-3. Awalnya saya bengong, ke mana masa mudanya? Pada usia tsb (usia di mana saya ribut bekerja dan membiaya kuliah) mereka sudah ribut perkara susu bayi dan menyekolahkan anak. Mereka mengawali karirnya sejak lulus SMA, lalu menikah. Lalu, apakah gelar setinggi apapun punya kecenderungan tdk berlaku karena keengganan membayar gaji yang lebih tinggi? Bisa jadi. Apakah dg bekal S2 lantas gampang menjadi GM dalam tempo 1-2 tahun? Agaknya terlalu bermimpi.

Gaji boleh pas2an, asal jangan terlalu menekan gaya hidup. Hiduplah sewajarnya, itu lebih baik. Kebiasaan lama yang cenderung foya2 boleh ditinggalkan, sebab ritme dan beban pekerjaan dulu dan sekarangpun sudah beda. Banyak hal yg sebetulnya bisa diadaptasi pelan2.

But eniwe, the miracles come to those who believe in them. Tuhan memberikan kejutan2 kecil yang menjawab doa saya tsb. Tanpa harus melompat lagi, ada banyak hal yang menghampiri saya dan itu pula mendatangkan banyak hal. Saya semakin yakin, jika hidup bukanlah soal menemukan di mana ujung jalan, sebab jalan yang kita sangka ujung ternyata hanyalah sebuah tikungan, maka sepeda harus tetap dikayuh. Prosesnya harus benar2 dinikmati. Kadang kita jatuh, lalu ditertawakan, diremehkan, dan dilupakan. Tapi kita tetap punya kesempatan untuk bangkit asal kita mau. Tak perlu cemas dg ketidakjelasan hari esok. Gus Solah bilang, esok itu gaib. Bekerjalah bersungguh2 tanpa semata2 menuntut materi. Yakinlah, sebuah jalan yang luas membentang akan ditemui oleh mereka yang bekerja keras dan memiliki niat untuk memuliakan banyak orang.

Salam.

No comments: