Monday, May 2, 2016

Usia Produktif vs Nonproduktif Tenaga Kerja

Kadang, perusahaan yang dinamis tak punya tempat bagi tenaga kerja usia tua yang kurang produktif. Atau kalimat ini seharusnya dibalik? Tenaga kerja yang tak lagi muda dan yang kurang produktif sering tak punya tempat dalam perusahaan yang dinamis? Sejauh mana perusahaan bisa dikatakan dinamis?

Kategori tua itu seperti apa? Kategori produktif itu sendiri bagaimana? Jika mengacu pada BPS, usia produktif 15-64 tahun. Namun, berdasarkan pengalaman saya bekerja di beberapa perusahaan, usia tenaga kerja yang benar-benar produktif untuk ukuran perusahaan dinamis sesungguhnya adalah 25-50 tahun.

Kurang dari 25 tahun, kerap susah diajari materi dengan tingkat kesulitan yang agak tinggi. Lebih dari 50 tahun, mulai bermalas-malasan menjalankan pekerjaan. Apalagi dengan masa kerja yang belasan atau puluhan tahun telah bekerja di perusahaan yang sama. Namun, ini pengecualian bagi mereka yang sudah mencapai level manajerial ketika usianya 30-an (dan bekerja di perusahaan yang bukan milik pribadi/keluarga).

Pengamatan saya, mereka yang telah mencapai level manajer (rerata usia 30-50 th) kompetisi akan semakin ketat sehingga mereka lebih sigap membekali diri agar berdaya saing. Sementara yang nonmanajer pd usia tsb jauh lebih santai dan hanya segelintir yang mempersiapkan diri berkompetisi untuk naik ke level manajer.

No wonder, pertumbuhan jumlah manajer di sebuah departemen/divisi dalam sebuah perusahaan tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah staf/nonmanajer. Contoh sederhana, jumlah karyawan di cabang saya saat ini hampir menyentuh angka 5.000 org, dengan level manager cuma 25 org. Rasionya 1:200. Sejauh yang saya tau, belum ada studi yang menyebutkan rasio wajar manajer : nonmanajer dalam perusahaan sehingga bisa dikatakan sebagai perusahaan yang sehat.

Persaingan di level manajer selalu lebih ketat. Persoalan lain, tuntutan pasar yang sangat dinamis kadang tidak disertai dengan percepatan daya saing di lingkungan internal. Akibatnya, regenerasi pun jadi melambat. Pada perusahaan yang dinamis, hal ini tidak akan terjadi. Perubahan pasar terus berlangsung, selera konsumen bisa berubah setiap detik. Pada akhirnya, perusahaan yang bisa bertahan hanyalah mereka yang sigap menjawab perubahan melalui segudang inovasi.

Di level tenaga kerja, yang akan terus dipertahankan adalah mereka yang memberi konstribusi secara riil terhadap kemajuan perusahaan. Baik itu kontribusi tenaga/pemikiran yang ujung-ujungnya membawa pada pertumbuhan laba perusahaan. Merekalah tenaga kerja produktif.

Mereka yang low performance acapkali akan tersingkir. Namun, karena alasan manusiawi (misal, penghargaan terhadap masa kerja) kadang sebuah perusahaan masih memberi toleransi pd tenaga kerja golongan ini. Maka dicarikanlah posisi/jabatan yang lalu bikin orang mengernyitkan dahi. Artinya, tanpa ada jabatan tsb pun, sebetulnya perusahaan bisa jalan. Namun karena alasan tertentu, perusahaan mau bertindak tidak efisien.

Dalam buku "How Starbuck Save My Life" -- kasus yang dialami Michael Gates Gill mencerminkan permasalahan yang saya ulas ini. Saya pun yakin kasus yang dialaminya juga dialami ribuan orang di dunia termasuk dalam perusahaan tempat saya bekerja.

Gates Gill dianggap sebagai tenaga kerja yang low perfomance, ia telah mengabdi puluhan tahun dan telah mempromosikan ratusan karyawan ke jenjang manajer. Namun, pada akhirnya ia pun disingkirkan oleh mereka yang pernah dipromosikan ke level manajerial dengan diberikan golden shake yang tak terlalu besar. Pemilik perusahaan tempat dia bekerja, menjual perusahaan tsb sehingga terjadilah perombakan total di level manajerial di bawah pemilik saham yang baru.

Pemilik perusahaan yang baru, merekrut banyak tenaga kerja muda yang siap dididik dan dibayar murah, ketimbang harus mempertahankan para senior bergaji fantastis yang dianggap sudah tidak lagi memberi kontribusi riil terhadap perusahaan. Kasus ini pun seolah menyuguhkan kenyataan bahwa menjadi tua itu mencekam. Berpuluh tahun mengabdi pada sebuah perusahaan untuk membangun zona aman, pada akhirnya menjadi zona ancaman.


But Gill membuat pembaca "you don't have to be worry, because it's only the beginning." Karir Gill yang hancur berdarah-darah dengan kehidupan pribadi yang terseret berantakan, justru membawanya pada sebuah fase kehidupan baru. Sebab ia yakin, meski usianya memasuki 60 tahun namun dirinya masih sanggup belajar dan merasa masih punya potensi untuk membawa kemajuan sebuah perusahaan.

Berbulan-bulan dia hidup hanya dari golden shake dan menikmati fase post power syndrome. Stress yang menggila, ia harus mau bekerja apa saja. Dari semula dilayani, kini menjadi melayani. Bahkan ia harus rela menyikat WC sebuah restoran. That's life! Dengan kerja keras dan kesabaran, Gill pada akhirnya diterima bekerja di Starbuck yang baginya pekerjaan itu ia temui tanpa sengaja. Karir Gill pun mulai membaik, dan ia kembali meraih level manajerial dalam sekejap.

Buku ini menarik, membuat kita sadar bahwa usia boleh tua namun produktivitas tak boleh luntur. Loyalitas itu penting, namun jangan lalai untuk terus membekali diri agar terus siap bersaing. Kita tak pernah tahu bagaimana nasib perusahaan tempat kita bekerja esok. Banyak cara membekali diri agar menjadi tenaga kerja yang berdaya saing. Teruslah belajar dan jangan lupa melebarkan jaringan di lingkungan eksternal agar tak seperti katak dalam tempurung. Percaya diri dalam zona zaman itu boleh saja, namun jangan terlena. Sebab zona ini bisa membunuhmu sewaktu-waktu.

Salam.

No comments: